Sekilas Mengenal Masyarakat Adat Dondai 

Informasi

Sentani, 20/9/202_ Dondai Yo Man Yo. Ungkapan dalam Bahasa Kampung Dondai ini, biasa digunakan dalam momen-momen tertentu di Kampung adat Dondai. Ungkapan ini menceriterakan keberadaan masyarakat adat Kampung Dondai atau suatu Komunitas masyarakat adat yang hidup dengan tradisi budayanya yang mengikat satu sama lain dari tiga kampung yakni Dondai, Yakonde dan Sosiri.

Hal ini tercermin dari model atab rumah adat (Obhe Buro Ongko Obhe) yang terbagi atas tiga terap atabnya.

Dalam tatanan kehidupannya secara turun temurun, tiga kampung yakni Dondai, Yakonde dan Sosiri ada saudara sekandung. Untuk itu, rumah adatnya dibuat sebagai simbol penyatuan, artinya hanya satu saja tempat bermusyawarah tentang hal-hal adat istiadat, seperti perang, dan lain- lain.

Kebiasaan yang diwariskan turun temurun ini teleh menjadi panduan dalam keberlangsungan hidup masyarakat Dondai dari Generasih ke Generasih hingga sekarang ini.

Ornamen- ornamen budaya (kearifan lokal) masih dipertahankan sebagai identitas keaslian mereka. Berbagai simbol-simbol suku diukir pada tiang Rumah adat (Obhe Buro Ongko)

Masyarakat Kampung Adat Dondai terdiri dari lima Kepala Suku, yakni : Silas Oiseay Daimoe, Ondoafi dengan mata rumah dari Buri Imea, Markus Dike (Kepala Suku Keunau Obe Imea ), Agus Daimoe (Kepala Suku Kiori Babiri Imea), Stevanus Dike (Kepala Suku Keunau Babiri Imea ), dan Prengki Yakob Daimoe (Kepala Suku Teisukuru).

Jumlah Penduduk di Kampung Dondai ada 138 KK , Sedangkan jumlah jiwa berkisar 400-500 jiwa, Masyarakat Dondai rata-rata nelanyan dan berkebun.

Dari kiri, Ondoafi Kampung Dondai Silas Oiseay Daimoe dan Kepala Suku Keunau Obe Imea, Markus Dike Kanan

Menurut Ondoafi Kampung Dondai  melalui juru bicaranya, Kepala Suku Keunau, Markus Dike mengatakan bahwa, catatan sejarah masa lampau begitu panjang. Perjalanan masyarakat asli Dondai bersama masyarakat adat di sekitar Distrik Waibu bersama-sama dari Laut yang berjalan hingga masuk ke danau Sentani. Banyak bukti-bukti sejarah kami di berbagai tempat, seperti di Kayo Pulau dan sekitarnya.

“Sampai dengan sekarang kami tetap mejaga tradisi budaya itu. Untuk itu, tradisi saling menghargai dan menghormati itu muncul dari struktur pemerintahan asli. Ondofolo dan Khoseyo, adalah satu kesatuan dalam system pemerintahan masyarakat hukum adat. Masing-masing menjalankan tugas dan fungsinya serta bertanggung jawab penuh dari Ondoafi. Hal ini menjadi contoh bagi masyarakat adat itu sendiri, hingga sekarang,” ungkap Markus Dike.

Dijelaskan juga, kalau antara Ondoafi dan kepala suku sudah tidak saling menghargai, maka disitu dasar dari pada kemerosotan nilai-nilai budaya itu sehingga generasih berikutnya akan ikut itu. “Oleh sebab itu Kami merasah bangga, karena negara sampai hari ini menghargai masyarakat adat dalam Negara. Itu berarti kami Masih dihormati dan dihargai,” Markus Dike. (Kromsian)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *